Baca Juga
Sebagai
mahluk sosial manusia di ciptakan untuk hidup bersosialisasi satu sama lain
tanpa memandang suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Selain perbedaan tersebut
dalam lingkungan sosial seringkali terjadi problematik yang muncul antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain. maka, manusia di tuntut untuk mampu
mengatasi masalah yang terjadi di lingkungan sosialnya melalui komunikasi dan
membuat suatu kebijakan untuk meminimalisir terjadinya masalah sosial.
Beberapa
tahun terakhir Indonesia mengalami beberapa problematika sosial yang melibatkan
banyak perspektif dan spekulasi mengenai keadilan gender. Dalam keadaan ini
banyak para aktivis perempuan dan lembaga – lembaga pemberdayaan perempuan
meminta hak akan kesetaraan gender tanpa adanya diskriminasi. Kegiatan ini
dilakukan untuk menegakkan kesetaraan gender untuk menjunjung keadilan
perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan – kegiatan sosial.
Kegiatan
ini dilakukan untuk memastikan hak – hak perempuan dan anak Indonesia untuk
mendapatkan perlindungan dan terpenuhi haknya. Hal ini, menjadi tanggung jawab
Negara terhadap rakyatnya. Karena banyak di temukan kekerasan terjadi kepada
perempuan dan anak yang di latar
belakangi oleh diskriminasi gender dan pernikahan dini. Maka, peran pemerintah
sangat dibutuhkan untuk membantu mengurangi permasalahan tersebut.
Pernyataan
tersebut terlampir dalam Permen PPPA No.13 Tahun 2020 Peraturan Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan
Perlindungan Anak tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Dari
Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana. Bahwa perempuan dan anak berhak untuk
mendapatkan rasa aman, pelindungan dari ancaman ketakutan, dan bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
Dalam
survey pengalaman hidup perempuan nasional (SPHN) 2016 menunjukkan bahwa 1 dari
3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan baik itu secara fisik
maupun secara seksual. 1 dari 4 perempuan yang pernah atau sedang menikah
pernah mengalami kekerasan berbasis ekonomi. 1 dari 5 perempuan pernah atau
sedang mengalami kekerasan psikis. Data tersebut menggambarkan bahwa
permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi PR bersama untuk
kemajuan dan kerukunan bangsa Indonesia.
Pernikahan
merupakan moment paling sakral sehingga membutuhkan kesiapan, baik secara
finansial, mental maupun emosional. Ketidaksiapan seseorang secara psikologis
dapat berdampak kepada permasalahan kedepanya sehingga dapat menimbulkan
berbagai macam konflik, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan
karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang menjadikan perempuan yang menikah
di usia dini berpotensi menjadi korban kekerasan.
Banyak
orang tua beranggapan bahwa perempuan menempuh pendidikan tinggi menjadi hal
yang Cuma – Cuma dan membuang waktu belaka. Mereka berfikiran bahwa kodrat
perempuan hanya 3M (masak, macak dan manak). Padahal melansir kesetaraan gender
perempuan memiliki hak yang sama terhadap laki – laki. Jadi perempuan di
wajibkan untuk memiliki pendidikan yang baik untuk mendidik generasi yang akan
datang.
Sedangkan
jika dilihat dari sisi kesehatan, bagi anak perempuan yang melakukan perniakahan
dini rentan mengalami keguguran, gangguan reproduksi, komplikasi medis hingga
ancaman kematian baik pada ibu maupun anak saat prosesi melahirkan. Maka dampak
negatif yang akan terjadi pada
pernikahan anak akan lebih banyak mengalami problematik bermunculan. Laporan
KPAI menjelaskan bahwa pernikahan dini menyebutkan tingkat perceraian mengalami
tingkatan yang cukup drastis.
Sehingga
sangat di sayangkan jika sekitar 80% pernikahan anak dibawah umur berdampak
pada angka anak putus sekolah meningkat, memperburuk keadaan ekonomi dan
meningkatkan angka kematian. Selain itu, terdapat normalisasi dari masyarakat
sekitar mengenai konstruksi pernikahan dini. Secara seksualitas dipandang
sebagai solusi, namun pada kenyataanya banyak melahirkan persoalan dan
ketidakadilan sosial atau bahkan terjadinya ketimpangan sosial terhadap
masyarakat sekitar.
Ada
beberapa hal yang ditujukan oleh badan hukum untuk mengetahui enam kelompok
perempuan yang mendapatkan akses advokasi perempuan. Berikut saya lampirkan
kelompok perempuan yang membutuhkan pengetahuan advokasi sebagai sumber lisensi
hukum Negara :
-
Kelompok perempuan yang sama sekali
tidak mengetahui kemana harus pergi untuk mengakses kaedilan.
-
Kelompok perempuan yang mengetahui hak –
haknya tetapi tidak tahu harus pergi kemana untuk mengkases keadilan tersebut.
-
Kelompok perempuan yang tahu harus pergi
kemana akan tetapi tidak memiliki sarana atau kemampuan untuk mengakses
keadilan.
Maka,
dari beberapa sumber tersebut menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk terseu
mensosialisasikan mengenai UU. TPKS kepada masyarakat. Mengingat isu kekerasan
terhadap perempuan merupakan isu pling utama yang memborbardir angka
kriminalitas di Indonesia. Mari sebagai generasi bangsa (agent of change)
pemerintah mengharapkan kita untuk ikut andil dalam prosesi pemecahan masalah
tersebut melalui sosialiasi secara serentak dan besar – besaran untuk
memeberantasan aksi kekerasan tersebut.
comment 0 comments
more_vert